Tarekat, Cara Mengamalkan Syari’ah

Dengan mengacu pada uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa thariqah atau thariq al-shafiyyah ‘jalan para sufi’ pada hakikatnya adalah “jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul dalam merealisasikan penghambaan diri dan tauhid yang murni dengan cara mengosongkan kalbu dari hal-hal selain Allah serta memenuhinya dengan dzikrullah dalam setiap keadaan (berdiri, duduk, dan berbaring),” dengan kata lain, thariqah pada dasarnya adalah “pengamalan syari’ah dalam kerangka tauhid dan ubudiyah.”

Penjelasan yang lebih gamblang mengenai posisi thariqah sebagai pengamalan syari’ah dalam kerangka tauhid dan ubudiyah dapat disimak pula dari pernyataan Al-Mukarram Saidi Syekh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berikut:

“Tarikat adalah cara mengamalkan syariat dan menghayati inti daripada hakikat syariat itu sendiri serta menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan pelaksanaannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh syariat itu sendiri.”
“Tarikat itu adalah pengamalan syariat itu sendiri. Kita harus masuk agama Islam secara keseluruahan, melaksanakan syariat dan hakikat zahir dan batin.”
“Tarikat itu harus berada dalam Islam, sesaui dengan Al Qur’an dan Al Hadis. Segala tarikat yang tidak sesuai dengan Islam adalah salah. Orang tarikat harus bersyariat, oleh sebab itu zaman dahulu selesai syariat dulu baru masuk tarikat. Dengan kata lain, Tarikat yang suci harus berdiri di atas syariat yang murni.”
“Sasaran orang yang bertarikat adalah mencari ridha Allah semata dan memurnikan tauhid kepada-Nya. Tauhid dijadikan pola pikir, dalam bersikap “Ilahi anta maqshuudii waridhaaka mathluubii” dalam bertindak sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadis.
Ketika beliau ditanya, “Apakah tarikat itu perlu?” beliau menjawab, “Perlu atau tidaknnya tarikat jangan dipersoalkan. Yang perlu adalah bagaimana janji Al Qur’an bisa kita realisasikan. Janji Al Qur’an ternyata selalu dapat direalisasikan oleh Syekh-Syekh tarikat.

Di dalam janji al-Quran yang seringkali terdengar kumandangnya di mimbar-mimbar-mimbar adalah bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (khair ummat ukhrijat li al-nas) [Ali Imran, 3:110], dan sekaligus umat pilihan yang adil untuk menjadi saksi atas manusia (ummat wasathan litakuna syuhada li al-nas) [Al-Baqarah, 2:143]. Agama mereka pun merupakan agama yang tidak tertanding dalam semua aspek sebagaimana ditegaskan oleh Nabi saw.: Al-Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih darinya)” [Shahih al-Bukhari 1:454]. Hal ini sekaligus mengandung arti bahwa umat Islam juga tidak tertandingi. Kenyataanya, hingga saat ini umat Islam masih terpuruk dan lebih banyak menjadi penonton daripada pemain di panggung peradaban.
 
Pernyataan al-Quran, “Betapa sering kelompok yang sedikit mampu …banyak “ [Al- Baqarah, 2:249], Justru sekarang lebih banyak berlaku untuk umat yang lain daripada umat Islam sendiri yang notabene merupakan mayoritas. Hal ini tiada lain karena umat Islam hanya terpaku pada formalitas agama (fikih atau syari’ah dalam arti sempit) yang saat ini justru selalu menjadi sumber khilafiah berkepanjangan. Pada umumnya mereka mengamalkan sya’riah tanpa melibatkan thariqah, padahal di dalam thariqah-sebagaimana ditegaskan dan dibuktikan oleh Al-Mukarram Said Syekh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya-tersembunyi apa yang oleh beliau disebut “teknologi al-Quran,” suatu teknologi yang mampu melahirkan energi ketuhanan yang maha dahsyat sebagai sumber senjata untuk mengusir iblis la’natullah, musuh paling nyata setiap mukmin, sehingga pada gilirannya mereka mampu menegakkan shalat al khasyi’in yang juga menjadi kunci mutlak kemenangan itu sendiri.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS