Mursyid sebagai Khalifah Rasul

Imam-imam hadis, selain al-Bukhari dan Muslim, meriwayatkan sebuah hadis perpisahan yang didalamnya antara lain Nabi saw bersabda:

Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah al-khulafa al-rasyidun yang memperoleh petunjuk; berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dan ‘gigitlah’ sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham kalian [Shahih Ibn Hibba,I: 179; sunan al-Tirmidzi, V: 44; Sunan Abi Dawu, IV: 200; Sunan Ibn Majah, I: 16; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, X:114].

Dalam hadis itu tampak bahwa sunnah Nabi saw disandingkan dengan sunnah para khalifah (pengganti) beliau; kedua jenis sunnah ini sama-sama wajib diikuti dan dipegangi secara teguh oleh setiap mukmin. Ini menunjukan bahwa sunnah al-khulafa al-rasyidun adalah sunnah yang suci sebagaimana Sunnah Nabi saw sendiri. Tidak mungkin Nabi saw memerintahkan mengikuti sunnah mereka apabila sunnah itu mengandung cacat atau hal-hal yang bertentangan dengan syara.
Siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan al-khulaf al-rasyidun itu? Selama ini ungkapan al-khulafa al-rasyidun dipahami sebagai pengganti Nabi saw di bidang politik, yaitu sebagai kepala negara/pemerintahan Islam yang bertanggung jawab atas semua urusan politik umat. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra., Umar Ibn al-Khaththab ra., Utsman Ibn Affan ra., dan Ali Ibn Abi Thalib ra.
Belakangan nama Amirul Mukminin Umar Ibn Abd al-Aziz ra diposisikan sebagai khalifah kelima dan sekaligus terakhir dari al-khulafa al-rasyidun, sehingga secara keseluruhannya al-khulafa al-rasyidun dalam pengertian ini hanya berjumlah lima orang. Tetapi di samping pengertian sebagai pengganti Nabi saw di bidang politik, pengertian al-khulafa al-rasyidun juga dapat ditinjau dari segi spiritual, sebab Nabi saw tidak sekedar sebagai kepala negara/pemerintahan melainkan juga sebagai Nabi dan Rasul yang membawa misi tauhid dan ubudiah serta penyempurnaan akhlak yang mulia.
Beliau adalah pemimpin spiritual yang oleh al-Quran digambarkan memiliki tugas-tugas:

(1) membacakan kepada umat ayat-ayat Tuhan, (2) menyucikan kalbu mereka, serta (3) mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah [Ali Imran, 3: 164].

Tugas-tugas seorang khalifah sudah sepatutnya sesuai dengan tugas-tugas Nabi saw sebagai seorang Rasul, yaitu ta’lim (mengerjakan al-Kitab dan al-Hikmah) dalam kerangka tauhid, ubudiah, dan penyempurnaan akhlak yang mulia. Dengan pengertian kedua ini, al-khulafa al-rasyidun pada dasarnya menunjuk kepada ulama yang oleh Nabi SAW. diposisikan sebagai waratsah al-anbiya (ahli waris para Nabi), dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi saw atau Nabi-Nabi lainnya tidak mewariskan dinar atau dirham; mereka hanya mewariskan al-ilm (ilmu) [Musnad Ahmad, V: 196; Shahih al-Bukhari, I: 46]. Mereka itulah hamba-hamba pilihan yang kepada mereka Allah mewariskan al-Quran [Fathir, 35:32], sehingga mereka disebut dengan ahl al-dzikr yang kepada mereka setiap orang harus bertanya [Al-Nahl, 16:43; al-Anbiya, 21:7].
Ciri khas mereka adalah bahwa mereka tidak pernah meminta upah atas upaya dakwah mereka karena Nabi saw juga tidak meminta upah atas dakwah beliau [Yusuf, 12: 104]; dan Allah memerintahkan agar mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta upah seperti mereka [Yasin, 36:21, Al Furqan 27:57].
Dengan warisan ciri khas semacam ini mereka layak menyandang gelar khalifah (pengganti) Rasul yang sekaligus sebagai penegak hujjah Allah, dan jumlah mereka tentu tidak hanya lima orang meskipun juga tidak banyak.
Sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan, jumlah mereka memang sedikit sebagaimana ditegaskan oleh sayyidina Ali Ibn Thalib r.a. ketika berkata kepada Kuhail ibn-Ziyad, Demi Allah, sungguh bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allah agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan hujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allah.
Bahwa al-khulafa al-rasyidun yang dimaksud oleh Nabi saw lebih terkait dengan khalifah-khalifah spiritual daripada khalifah-khalifah di bidang politik dapat disimak pula dari kenyataan bahwa Umar Ibn al-Khaththab ra dan beberapa sahabat lainnya ternyata masih diperintahkan oleh Nabi saw agar menemui dan meminta syafaat kepada Uwais al-Qarni ra, seorang laki-laki dalam hadis riwayat Imam Muslim disebut sebagai khayr al-tabiin, orang terbaik di antara orang-orang yang hidup pada masa sahabat;

Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seseorang yang bernama Uwais; dia hanya punya seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian [Shahih Muslim, IV: 1968; Musnad Ahmad, I: 38].

Berkaitan dengan diri Uwais al-Qarni ra inilah, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah r.a., disebutkan bahwa Nabi saw bersabda:

Iman ada di Yaman dan hikmah pun ada di Yaman (dalam riwayat lain ada tambahan: dan aku cium nafas al-rahman dari arah Yaman, atau, dan aku cium nafas Tuhanmu dari arah Yaman) [ Shahih al-Bukhari, III: 1289; Shahih Muslim, I: 72 dan Shahih Ibn Hibban, XVI: 288].

Nafas al-rahman yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah Uwais al-Qarni. Dia adalah wali Allah yang paling besar pada masanya; disembunyikan oleh Allah di tengah-tengah rakyat jelata sehingga orang-orang tidak mengetahuinya dan bahkan sering mengejeknya. Dia berasal dariku dan aku berasal darinya, kata Rasulullah saw [Al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, I:113].
Ungkapan Rasul ini menunjukan kepada hubungan spiritual antara Uwais al-Qarni ra dan Nabi saw meskipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS