Mursyid sebagai Pemandu Jalan

Mursyid dalam thariqah adalah seorang wali yang layak diikuti sebagai imam dalam perjalanan menuju Tuhan. Ia adalah wali Allah yang ciri khasnya sebagaimana disebutkan di atas. Jalan menuju Tuhan bukan jalan yang mulus melainkan jalan yang berliku-liku dan penuh dengan rintangan-rintangan berupa ranjau-ranjau Iblis sehingga diperlukan pemandu yang arif untuk bisa selamat dari semua rintangan itu. Seorang salik, orang yang menempuh perjalanan (menuju Tuhan) atau yang biasa disebut dengan murid, yang telah membulatkan kehendaknya untuk menempuh perjalanan (menuju Tuhan) tidak boleh tidak harus didampingi mursyid sebagai pemandu jalan yang menuntun dan sekaligus memperingatkannya apabila ada bahaya yang mengancam. Keberadaan seorang mursyid dengan fungsi ini sangat mutlak.

Barang siapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari, kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi yang dikutip oleh Annemarie Schimmel [Dimensi Mistik dalam Islam, hlm. 106], untuk menggambarkan betapa sulitnya perjalanan itu dan betapa pentingnya keberadaan seorang pemandu (mursyid).

Posisi mursyid atau syaikh sufi menurut Ibn Taimiyah tidak ubahnya seperti imam dalam shalat dan pemandu haji (dalil-al-hajj); imam shalat diikuti oleh makmum, mereka shalat sesuai dengan shalatnya imam (yushalluna bi shalatihi), sedangkan pemandu haji menunjukan kepada jamaah jalan menuju baitullah (yadullu al-wafd ala thariq al-bait)[ Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, VIII: 49].

Dalam peristiwa Isra dan Miraj (perjalanan Nabi menuju Tuhan), Nabi saw dipandu oleh Jibril as yang berfungsi sebagai mursyid, imam atau guide, yaitu pemandu jalan yang menuntun dan membimbing beliau hingga sampai di hadirat Allah ‘azza wa jalla.

Dalam Tafsir al-Thabari disebutkan bahwa dalam Miraj itu, Nabi saw bertemu dengan seorang tua renta di sisi jalan, dan ketika beliau bertanya siapa orang itu, Jibril as. berkata, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!

Beliau juga mendengar sebuah suara yang menyeru beliau agar menyingkir dari jalan, “Halumma ya muhammad, ke sinilah Muhammad!, sebelum Nabi saw sempat menoleh Jibril sudah langsung memperingatkan, Teruslah berjalan, wahai muhammad (sir ya muhammad)!

Beberapa saat kemudian Jibril memberikan penjelasan. Orang tua yang engkau lihat di sisi jalan tadi menunjukan bahwa tidak tersisa dari dunia ini kecuali sekadar sisi umur orang tua itu, sedangkan suara yang hendak memalingkanmu adalah Iblis [Tafsir al-Thabari, XV: 6; Tafsir Ibn Katsir, III: 6 Al-Ahadits al-Mukhtarah, VI: 258].

Peristiwa Isra dan Miraj Nabi saw memang menjadi rujukan utama para sufi, terutama yang berkenaan dengan unsur Jibril as. yang berfungsi sebagai mursyid, sang pemandu.

Keberadaan unsur Jibril as sangat mutlak sedemikian rupa sehingga andaikata unsur ini tidak ada, maka Nabi saw akan terperangkap oleh jebakan Iblis. Lalu bagaimana dengan umat beliau? Apakah mereka juga memerlukan unsur Jibril ini? Jawabannya pasti: ya, tidak boleh tidak. Posisi dan fungsi unsur Jibril ini justru diduduki dan dilaksanakan oleh Nabi sendiri.

Urgensi unsur Jibril sangat jelas terutama mengingat pernyataan Nabi saw bahwa shalat adalah miraj-nya orang mukmin [Syarh Sunan Ibn Majah, hlm. 313]. Artinya, orang-orang mukmin juga dimungkinkan mengalami miraj dengan izin dan kehendak Tuhan. Sebagai sarana miraj, dalam shalat seorang mukmin harus melibatkan unsur Jibril; kalau tidak, maka shalatnya akan didominasi oleh unsur setan, sehingga shalat itu menjadi shalat yang tanpa makna, gersang, dan jauh dari nilai-nilai khusyuk, yang pada gilirannya tidak dapat berfungsi sebagai tanha an al-fahsya wa al-munkar mencegah dari perbuatan keji dan mungkar [al-Ankabut, 29:45].

Shalat semacam ini kata Nabi saw dalam riwayat al-Thabrani dengan perawi-perawi sahih [Majma al-Zawaid, II: 258], adalah shalat yang hanya akan menjauhkan pelakunya dari Allah SWT (man lam tanhahu shalatuhu an al-fahsya wa al-munkar lam yazdad minallahi illa budan), [Al-Mu’jam al-Kabir, XI: 54]. Berbagai kasus dalam kehidupan orang-orang mukmin menjadi bukti tak terbantah atas pernyataan ini.

Miraj adalah karunia Tuhan yang berupa perjalanan menuju Dia SWT dengan perbentangan berbagai fenomena ghaib (metafisik) sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Dalam sejarah Nabi saw dikenal dua jenis miraj: Khusus dan umum.

Miraj khusus dialami Nabi saw pada saat beliau menerima perintah shalat wajib lima waktu, sedangkan miraj umum dialami Nabi saw pada saat-saat yang lain termasuk ketika beliau dimuliakan Allah dengan diangkat sebagai rasul.

Dalam wacana sufi miraj umum lebih sering disebut dengan istilah muraqabah, dan sangat dimungkinkan dialami oleh siapa pun dari kalangan orang-orang beriman. Pengalaman melihat sorga dan neraka dengan mata kepala (muraqabah) yang dialami para sahabat merupakan indikasi nyata atas kemungkinan ini.

Dalam kitab Shahih-nya Imam Muslim memuat bab yang menyinggung soal muraqabah; di dalamnya diriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari Hanzhalah al-Usayyidi, salah seorang sekretaris Rasulullah saw; ia berkata bahwa ketika Nabi bercerita tentang sorga dan neraka, ia dan Abu Bakar ra. merasa melihat sorga dan neraka itu dengan mata kepala mereka, tetapi masing-masing dari mereka banyak yang lupa apa yang mereka lihat, lalu mereka memutuskan untuk menghadap Nabi saw dan menanyakan hal itu. Dialog antara Hanzhalah dan Nabi dapat disimak dari kutipan berikut:

Aku (Hanzhalah) berkata, Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah. Rasulullah saw bertanya, Ada apa?. Aku (Hanzhalah) berkata, Wahai Rasulullah, kami pernah berada di hadapanmu mendengarkan engkau bercerita kepada kami tentang sorga dan neraka sehingga kami seolah-olah melihat sorga dan neraka itu dengan mata kepala. Setelah kami pulang dari hadapanmu, serta bertemu dan bermain-main dengan anak-istri kami dan pergi keperkarangan kami, kami banyak lupa tentang hal itu. Rasulullah saw bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian berkekalan dengan apa yang kalian lihat dihadapanku dan berkekalan dalam dzikir, niscaya para malaikat menjabat tangan kalian diatas tempat tidur kalian dan dijalan-jalan (tarekat-tarekat) kalian. Sayangnya, wahai Hanzhalah, (muraqabah itu) hanya sesaat dan sesaat (ini diucapkan tiga kali oleh beliau)” [Shahih Muslim, IV: 2106; Musnad Ahmad, IV: 346; Sunan al-Tirmidzi, IV: 666].

Dalam kasus tersebut para sahabat telah mengalami muraqabah dan sekaligus miraj, karena miraj pada dasarnya dapat dipahami sebagai naik dan melintasi alam fisik, keluar dari dimensi ruang dan waktu, serta memasuki dan menyaksikan alam metafisik ketuhanan. Pengalaman miraj para sahabat tersebut terjadi berkat bimbingan Rasul saw sebagai pemandu, sebagaimana Rasul sendiri mengalami miraj berkat bimbingan Jibril as. dengan izin Allah SWT. Dengan kata lain, mereka dibawa miraj oleh Nabi saw sebagaimana Nabi dibawa miraj oleh Jibril as. dengan izin Allah. (Lalu, bagaimana dengan orang-orang mukmin lain yang tidak bertemu dengan Nabi? Siapa yang akan membawa mereka miraj?!).

Hikmah yang dapat diambil dari pengalaman itu adalah bahwa yang bersangkutan pasti menyadari secara haqqul yaqin bahwa ungkapan al-Quran inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (kami milik Allah dan kepada-Nya kami pulang) [Al-Baqarah, 2:156] adalah benar (haqq), dan bahwa mereka ketika hidup di dunia pada hakikatnya sedang berada dalam perjalanan pulang menuju Tuhan, sebuah perjalanan yang sangat sulit dan berliku-liku.

Dengan adanya seorang pemandu, perjalanan itu akan terasa lebih ringan, mudah, dan lancar sehingga tepat sekali ungkapan Rumi yang dikutip sebelumnya, Barangsiapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS