Posisi Tasawuf dalam Ilmu-Ilmu Islam

Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya Al-Khalidi menyatakan bahwa Tasawuf adalah “Saudara Kembar” Fiqih. Pernyataan ini tampaknya berdasarkan pada kenyataan bahwa Fiqih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara Tasawuf merupakan perwujudan konkret dari konsep Ihsan. Dua konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep Iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu kalam) dalam dialog antara Jibril AS dan Nabi SAW sebagaimana dikemukakan dalam hadist Abu Hurairah yang sangat terkenal. [Shahih al-Bukhari, I:27; Shahih Muslim, L:39]
Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi Tasawuf sebagai “saudara kembar” Fiqih dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dalam bukunya Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya:

“Alhasil kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan Tasauf dan Fiqih: gabungan otak dan hati. Dengan Fiqih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan Tasauf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama.
“Kalau kita tilik kepada bunyi Hadist tentang Islam, Iman dan Ihsan tampaklah bahwa ketiga Ilmu Islam yaitu Ilmu Fiqih, Ilmu Ushuluddin dan Ilmu Tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (Islam, Iman dan Ihsan).
“Islam diartikan oleh hadist itu ialah mengucapkan Syahadat, mengerjakan Shalat lima waktu, Puasa bulan Ramadhan, mengeluarkan Zakat dan Naik Haji. Untuk mengetahui, sehingga kita mengerjakan suruhan agama dengan tidak membuta: Kita pelajarilah Fiqih.
“Iman adalah Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Rasul-Rasul dan Kitab-Kitab, dan iman kepada Hari Kiamat dan Takdir, buruk dan baik, Kita pelajarilah Ushuluddin atau Ilmu Kalaam."
“Ihsan adalah kunci daripada semuanya, yaitu: Bahwa kita mengabdi kepada Allah SWT, seakan-akan Allah SWT itu kita lihat di hadapan kita sendiri. Karena meskipun mata kita tidak dapat melihatNya, namun Allah SWT tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam Tasawuf.
“Itulah tali berpilah tiga: Iman, Islam dan Ihsan. Dicapai dengan tiga ilmu: Fiqih, Ushuluddin dan Tasawuf. [Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal. 94-95]

Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi Tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan Syari’ah; bahkan ia merupakan ruh/hakikat/inti dari syariah.
Syariah sendiri dapat didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang terbit dari diri Nabi SAW yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan (al-Qur’an dan al-Hadist)”; atau dengan bahasa yang lebih umum: Syariah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Namun begitu, syariah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah.
Adalah mustahil memahami syariah (produk) secara sempurna tanpa memahami hakikatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini adalah Tasawuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu Fiqih dan hadist misalnya, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tasawuf melibatkan hati atau qalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal (jasmani).
Fiqih dan Tasawuf ibarat dua sisi mata uang, jika salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imam Abu Abdillah al-Dzahabi (w. 748 H), penulis kitab Siyar A’lam al-Nubala’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid menegaskan:

“Jika seorang ulama tidak ber-Tasawuf, maka ia kosong; sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (baca bersyariat), maka ia tergelincir dari jalan yang lurus.”

Imam Malik ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki yang sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syeikh Amin al-Kurdi, juga mengungkapkan hal senada:

“Barangsiapa yang bersyariat tetapi tidak berhakikat (ber-Tasawuf) maka ia telah fasik; dan barangsiapa yang berhakikat (ber-Tasawuf) tetapi tidak bersyariat maka ia telah zindik.” [Tanwir al-Qulub, hal. 408]

Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa Tasawuf adalah sebuah madzhab sebagaimana Ilmu Fiqih yang mengenal (minimal) empat mazhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas hukum suatu perkara. Syeikh al-Islam Ibn Taymiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqaha’ dan ahli hadist. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataan beliau ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidina Ali setelah ‘Utsman ibn ‘Affan:
Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib) telah disepakati oleh para fuqaha, ahli hadist, dan juga oleh ahli ma’rifat dan Tasawuf. [Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah, XXXV:19]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS